BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
masalah
Membahas salah satu cabang dalam
ulumul Qur’an yakni ilmu Qira’at
al-Qur’an tidak terlepas
dengan apa yang
disebut dengan Sab’ah
Ahruf (Tujuh Huruf). Dalam satu
riwayat, Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya al-Qur’an ini telah diturunkan dalam Tujuh Huruf, maka bacalah olehmu mana yang mudah dari
padanya”Para ulama berbeda pendapat
tentang makna ‘Tujuh Huruf’ pada hadits di atas. Diantara perbedaan
tersebut adalah :
1.Al-Qur’an
mengandung tujuh bahasa Arab yang memiliki satu makna.
2.Tujuh dialek
bahasa kabilah Arab
yaitu Qurays, Hudzail,
Tamim, Tasqif, Hawazin, Kinanah dan Yaman.
3.Tujuh
aspek kewahyuan seperti perintah, larangan, janji, halal, haram, muhkam,
mutasyabih dan amtsal.
4.Tujuh perubahan
perbedaan yaitu ism,
i’rab, tashrif, taqdim
dan ta’khir, tabdil dan tafkhim.
5.Tujuh
huruf diartikan bilangan yang sempurna seperti
70, 700, 7000 dan seterusnya.
6.Tujuh
Qira’at yang disebut dengan Qira’ah Sab’ah.
7.Tujuh
huruf diartikan tujuh bangsa selain bangsa Arab seperti Yunani, Persia dan
lain-lain.
B. Rumusan
masalah
1. Apa
Pengertian Qira’at al-Quran
2. Bagaimana
Latar belakang timbulnya Qira’at al-Quran
3. Apa
Sebab-sebab timbul perbedaan Qira’at al-Qur’an
4. Macam-macam
Qira’at al-Quran
C. Tujuan
1. Mengetahui
bagaimana sejarah Qira’at al-Quran
2. Untuk
mengetahui apa arti dari qira’at alqur’an
3. Apa
saja macam-macam qira’at al-quran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti
Qira’at
Secara etimologi, kata qira’ah berarti ‘bacaan’, dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan. Kata
qira’ah berbentuk tunggal,
dalam studi ilmu
al-Qur’an, ia ditempatkan dalam bentuk jamak karena pembahasannya
mencakup banyak jenis qira’ah
(bacaan).
Secara terminologi, qira’at adalah salah satu aliran dalam
pelafalan/pengucapan al-Qur’an oleh salah seorang imam Qurra’ yang berbeda dengan yang
lainnya dalam hal ucapan
al-Qur’an serta disepakati riwayat
dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun dalam
pengucapan lafadznya. Secara
praktis, qira’at disandarkan kepada
salah satu imam Qurra’ yang
tujuh, sepuluh dan empat belas.
Qira’at sebagai satu sistem bacaan menjadi
sangat vital bagi para pembacanya, terlebih lagi al-Qur’an merupakan sumber
pokok rujukan dalam segala hal bagi pemeluk agama Islam. Teks wahyu yang
diturunkan dalam bentuk lisan, diajarkan
oleh Nabi SAW dalam cara yang sama,
meski tetap ada usaha dalam bentuk
penulisan teks al-Qur’an tersebut. Tetapi, dalam praktek dominan, metode ajar
secara lisan tetap menjadi metode utama
hingga saat ini.Itulah mengapa dalam sejarahnya, al-Qur’an banyak mengalami
ragam cara baca, sesuai dengan dialek Arab yang ada saat itu.
Jika
Al-Qur’an merupakan inti ajaran Islam, maka ilmu Qira’at menjadi
sebuah sunnah yang harus dipegang, sebagaimana Nabi SAW selalu menjaga orisinalitas al-Qur’an
dengan cara memanggil para sahabat penghafal al-Qur’anuntuk kemudian mengulang
dan mengingat kembali bacaannya.Zaid
bin Thabit, orang yang begitu penting dalam pengumpulan Al-Qur'an, menyatakan bahwa “al-Qira’ah
sunnatun muttaba’ah” (Seni
bacaan (qira'at) Al-Qur'an
merupakan sunnah yang mesti dipatuhi dengan sungguh-sungguh).
Dalam satu riwayat, Nabi SAW bersabda: “Ambillah
(belajarlah) Al-Qur’an dari empat orang: Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz dan Ubay bin Ka’b”
Sepeninggal Nabi SAW, ragam bacaan
Al-Qur’an mendapat tempat tersendiri di kalangan sahabat sesuai dengan dialek
kabilah yang ada.
B. Latar
Belakang dan Tujuan Qira’at
Cara baca al-Qur’an yang beragam, disebabkan
beberapa hal utama :[6]
Ketika
pemerintahan Islam meluas dimasa khalifah
Utsman bin Affan, terjadi
beberapa perselisihan di kalangan sahabat
tentang car abaca al-Qur’an, yang mana masing-masing pihak
menyatakan bacaannya adalah yang paling sahih dan benar. Kondisi ini mengancam keharmonisan umat Islam, hingga
khalifah Utsman bin Affan memerintahkan para sahabat untuk menyusun dan membuat mushaf al-Qur’an.
Hal ini dikenal dengan Mushaf Utsmani, yang sampai saat ini mushaf ini kita temukan, baca dan amalkan. Perlu
kita ingat bahwa saat itu muncul beberapa mushaf yang berasal dari
sahabat, seperti Mushaf Ali bin Abi Thalib,
Mushaf Ubay bin
Ka’b, Mushaf Abdullah
bin Mas’ud, Mushaf Ibnu
Abbas, Mushaf Zaid bin
Tsabit, Mushaf Abu Musa al-‘Asy’ari dan mushaf beberapa sahabat lain yang sangat mungkin
tidak kita kenal.
Qira’ah, disebutkan oleh para ahli
sejarah, menjadi sebuah disiplin ilmu bermula ketika Imam Abu Ubaid al-Qasim
bin Sallam (w. 224 H) menulis sebuah buku Al-Qira’at, yang termuat di dalamnya
qira’at dari 25 orang rawi. Di
masa inilah mulai timbul kebohongan dan
usaha-usaha penggantian kata atau kalimat dalam al-Qur’an, sehingga para
ulama qurra’ memulai
penyusunan qira’at al-Qur’an menuju kepada disiplin ilmu.
Meski
sebelumnya telah ada beberapa ulama qira’ah yang terbagi kedalam beberapa
kelompok yaitu :
1.
Kelompok sahabat
: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari.
2.
Kelompok Tabi’in :
a.
Madinah : Ibnu Musayyib, Urwah, Salim, dan Umar bin
Abdul Aziz
b.
Mekah : Ubaid bin Umair, Atho' bin Abi Robah,
Thowus, Mujahid, Ikrimah
c.
Kufah : ilqimah, al-aswad, masruq, ubaidah,
dll
d.
Bashroh : abu aliyah, abu roja', qotadah, ibnu
siirin
e.
Syam : al-mughiroh, shohib utsman, dll
3.
Kelompok Ulama
Qurra’ yang hidup pada pertengahan abad dua hijriyah, seperti Ibnu Katsir, Abu
Ja’fah, Nafi bin Nua’im, dll.
4.
Kelompok yang
meriwayatkan qira’ah dari ulama kelompok ketiga, seperti Ibnu Iyasy, Hafsh dan
Khalaf.
5.
Kelompok
pengkaji dan penyusun ilmu qira’ah, yaitu Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Ahmad
bin Jubair al-Kufi, Ismail bin Ishak al-Maliki, Abu Ja’far bin Jarir at-Tabari,
Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Dajuni dan Abu Bakar bin Mujahid.
Abu Bakar bin Mujahid, terlahir
di Baghdad tahun
245 H, memberikan penjelasan yang
cukup rinci tentang ilmu qira’ah, sebagai berikut :
Pertama, macam-macam
Qira’at dari segi
kuantitas atau jumlahnya. Adapun sebutan qira`at dari segi
jumlah qira’at ada bernacam-macam. Ada yang bernama qira`at tujuh, qira`at
delapan, qira`at sepuluh, qira`at sebelas, qira`at tiga belas, dan qira`at
empat belas. Tetapi
dari sekian macam jumlah qira`at yang dibukukan, hanya tiga macam qira’at yang
terkenal yaitu:
1. Qira`at al-Sab’ah:
ialah qira`at yang dinisbatkan
kepada para imam qurra’ yang tujuh yang
masyhur.
No
|
Tempat
|
Imam Qurra’
|
1
|
Madinah
|
Nafi' (169/785)
|
2
|
Mekah
|
Ibn Katsir (120/737)
|
3
|
Damaskus
|
Ibn 'Amir (118/736)
|
4
|
Basrah
|
Abu 'Amru (148/770)
|
5
|
Kufah
|
'Asim (127/744)
|
6
|
Kufah
|
Hamza (156/772)
|
7
|
Kufah
|
Al-Kisa'i (189/804)
|
2. Qira`at
‘asyroh: ialah qira`at sab’ah diatas ditambah dengan tiga qira`at lagi.
No
|
Tempat
|
Imam Qurra’
|
8
|
Madinah
|
Abu Ja'far (130/747)
|
9
|
Basrah
|
Ya'qub (205/820)
|
10
|
Kufah
|
Khalaf al-Asyir (229/843)
|
3. Qira`at arba’ah
asyrah: ialah qira`at
‘asyrah yang lalu
ditambah dengan empat qira’ah
lagi.
No
|
Tempat
|
Imam Qurra’
|
11
|
Basrah
|
Hasan al Basri (110/728)
|
12
|
Mekah
|
Ibn Muhaisin (123/740)
|
13
|
Basrah
|
Fahya al-Yazidi
(202/817)
|
14
|
Kufah
|
al-A’masy (148/765)
|
Kedua,
dari segi kualitas, qira`at berdasarkan kualitas dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
1. Qira`at
Mutawatir, yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari orang banyak
yang tidak mungkin
terjadi kesepakatan di
antara mereka untuk berbohong.
2. Qira`at Masyhur,
yakni qira’at yang
memilki sanad sahih,
tetapi tidak sampai kepada
kualitas mutawatir. Qira`at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan
3. Qira`at Ahad,
yakni yang memiliki sanad
sahih, tetapi menyalahi
tulisan Mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memilki
kemasyhuran, dan tidak dibaca.
(Qira’at Aisyah dan Hafsah, Ibn Mas’ud,
Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibn Abbas)
4. Qira’at
Syadz (menyimpang), yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih.
5. Qira’at Maudhu’(palsu), yaitu
qira’at yang dibuat-buat
dan disandarkan kepada seorang
tanpadasar. Seperti qira’at yang disusun oleh Abu Al-Fadhl Muhammad bin Ja’far
dan mensbtkannya kepada Imam Abu Hanifah.
6. Qira’at
Syabih bi al-mudroj, yaitu qira’at yang mirip dengan mudroj dari macam-macam
hadis. Dia adalah qira’at yang didalamnya ditambah kalimat sebagai tafsir dari
ayat tersebut.
Tolak
ukur yang dijadikan pegangan para ulama’ dalam menetapkan qira’at yang sahih
adalah sebagai berikut :
a. Bersesuaian
dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih. Sebab, qora`at adalah sunnah yang harus
diikuti, diterima apa adanya dan menjadi
rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
b. Bersesuai dengan salah satu kaidah penulisan Mushaf ‘Ustmani walaupun hanya kemungkinan (ihtimal) atau
mendekati.
c. Memiliki
sanad yang sahih atau jalan periwayatannya benar, sebab qira`at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada
penukilan dan kesahihan riwayat.
C. Faedah
Keragaman Qira’at Al-Qur’an
Dalam keragaman
cara baca al-Qur’an,
dapat diambil beberapa
manfaat yang berguna sebagai tanda keotentikan al-Qur’an:
1. Bukti
yang jelas tentang keterjagaan Al-Quran dari perubahan dan penyimpangan,
meskipun mempunyai banyak qiroat tetapi tetap terpelihara.
2. Keringanan
bagi umat serta kemudahan dalam membacanya, khususnya mempermudah suku-suku
yang berbed logat/dialek di Arab.
3. Membuktikan
kemukjizatan Al-Quran, karena dalam
qiroat yang berbeda ternyata bisa
memunculkan istinbat jenis hukum yang berbeda pula.
Contoh dalam masalah ini adalah lafadhz : " wa
arjulakum" dalam Al-Maidah
ayat 6, yang juga bisa dibaca
dalam qiroah lain dengan "wa arjulikum ". Maka yang pertama
menunjukkan hukum mencuci kedua kaki dalam wudhu. Sementara yang kedua
menunjukkan hukum mengusap ( al-mash) kedua kaki dalam khuf atau sejenis sepatu.
4. Qiroat
yang satu bisa ikut menjelaskan / menafsirkan qiroat lain yang masih belum
jelas maknanya.
Contoh
masalah ini : dalam surat Jumat ayat 9, lafal " Fas'au ", asli
katanya berarti berjalanlah dengan
cepat, tetapi ini
kemudian diterangkan dengan qiroat lain : " famdhou" yang
berarti pergilah , bukan larilah.
D. Tanda-tanda
Baca Al-Qur’an
Pada
masa pemerintahan Khalifah Abu Bakr
ra, Al-Quran ditulis dengan memakai khat
kufi. Yaitu sebuah
model khat yang
sedang masyhur saat
itu. Tulisan pertama Al – Quran masih polos tanpa ada tanda harakat
ataupun titik.
Ketika
Islam mulai tersebar ke segenap penjuru
Arab, timbullah beberapa kekeliruan
dalam membaca Al – Quran. Hal ini karena beragamnya dialek yang dimiliki oleh masing-masing qabilah. Akhirnya pada masa Khalifah Muawiyah bin Abi
Sufyan (40-60 H), Abu Aswad Ad-Duali memprakarsai pemberian tanda-tanda
harakat untuk Al-Quran. Akan tetapi
tanda – tanda harakat
tersebut tidaksama dengan
harakat yang kita kenal saat
ini. Pada masa itu harakat
“Fathah” ditandai dengan titik
berwarna merah yang
diletakkan di atas
hurufnya. “Dhammah” ditulis
dengan titik yang ada di depan hurufnya, “Kasrah” ditulis dengan titik yang terletak
di bawah dan “Tasydid” dilambangkan dengan titik dua di atas huruf.
Sekitar tahun 65 – 86 H, Khalifah Abdul Malik bin Marwan atas saran Hajjaj
bin Yusuf mulai memberi
tanda titik pada
huruf-huruf Al– Quran. Ia menugaskan Yahya bin Ya’mar dan Nashar
bin Ashim yang merupakan murid Dari Abu Aswad Ad_Duali.
Tanda-tanda yang
sudah ada pun
dirasa masih kurang
cukup. Dimana dengan tanda –
tanda tersebut seringkali
masih diketemukan terjadi kekeliruan dalam membaca al-Quran,
terutama panjang – pendeknya bacaan.
Maka pada tahun 162 H, Imam Khalil
bin Ahmad yang tinggal di
Bashrah memberi tanda yang lebih
jelas. Ia memperbaharui tanda-tanda
yang telah ditulis oleh
Abul Aswad Ad_Duali. Dan hasilnya
adalah seperti tanda-tanda Al-Quran
yang kita ketahui saat ini.
Adapun
perubahan khat Al Quran terjadi pada masa Al-Wasil ibnu Muqlah (272 H), seorang menteri pada Dinasti Abbasiyah. Dialah orang yang
dikenal pertama kali menulis Al-Quran
dengan berbagai macam khat, termasuk diantaranya khat Al Quran yang kita pakai
sekarang ini.Sedangkan yang membagi Al Quran menjadi 30 juz adalah Hajjaj bin
Yusuf. Ia juga memberikan tanda “Nishf” (separuh) dan “Rubu’_”(seperempat) dalam mushaf Al Quran.
BAB III
PENUTUP
v Kesimpulan
Dalam lahirnya bermacam-macam bacaan
(Qira’at) dalam melafalkan al-Quran lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri
dengan melihat gejala beragamnya dialek sebenarnya bersifat alami (natural)
artinya tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu rasulullah saw sendiri
membenarkan pelafalan al-Quran dengan berbagai macam Qira’at. Disisi lain,
perbedaan-perbedaan dialek ( lahjah ) itu membawa konsekuensi lahirnya
bermacam-macam bacaan ( qira’ah ) dalam melafalkan al-quran. Lahirnya
bermacam-macam qira’ah itu sendiri, dengan melihat gejala beragamnya dialek,
sebenarnya bersifat alami (natural), artinya tidak dapat dihindari lagi. Dan
abu syamah dalam kitabnya al-quran al-wajiz menolak muatan hadis itu sebagai
justifikasi qira’ah sab’ah.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Akaha, Abduh Zulfikar, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta
: Pustaka Al-Kautsar, 1996.
2. Anwar, Abu,
Drs, M.Ag, Ulumul
Qur’an Sebuah Pengantar,
Jakarta : Amzah, 2002.
3. Al
A’zami, M. M., Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj.
Sohirin Solihin dkk, Jakarta : Gema Insani Press, 2005.
4. Chirzin,
Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
5. 14Denffer,
Ahmad Von, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an,
0 komentar:
Posting Komentar