Pages - Menu

Jumat, 13 Juli 2012

Qira’at al-Quran


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Membahas salah satu cabang dalam ulumul  Qur’an yakni  ilmu Qira’at  al-Qur’an   tidak   terlepas   dengan   apa   yang   disebut   dengan  Sab’ah  Ahruf  (Tujuh Huruf). Dalam satu riwayat, Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya al-Qur’an ini  telah diturunkan dalam Tujuh Huruf,  maka bacalah olehmu mana yang mudah dari padanya”Para ulama berbeda pendapat  tentang makna ‘Tujuh Huruf’ pada hadits di atas. Diantara perbedaan tersebut adalah :
1.Al-Qur’an mengandung tujuh bahasa Arab yang memiliki satu makna.
2.Tujuh   dialek   bahasa   kabilah  Arab   yaitu  Qurays,  Hudzail,  Tamim, Tasqif, Hawazin, Kinanah dan Yaman.
3.Tujuh aspek kewahyuan seperti perintah, larangan, janji, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.
4.Tujuh   perubahan   perbedaan   yaitu  ism,   i’rab,   tashrif,   taqdim  dan ta’khir, tabdil dan tafkhim.
5.Tujuh huruf diartikan bilangan yang sempurna seperti  70,  700,  7000 dan seterusnya.
6.Tujuh Qira’at yang disebut dengan Qira’ah Sab’ah.
7.Tujuh huruf diartikan tujuh bangsa selain bangsa Arab seperti Yunani, Persia dan lain-lain.

B.     Rumusan masalah
1.      Apa Pengertian Qira’at al-Quran
2.      Bagaimana Latar belakang timbulnya Qira’at al-Quran
3.      Apa Sebab-sebab timbul perbedaan Qira’at al-Qur’an
4.      Macam-macam Qira’at al-Quran

C.     Tujuan
1.      Mengetahui bagaimana sejarah Qira’at al-Quran
2.      Untuk mengetahui apa arti dari qira’at alqur’an
3.      Apa saja macam-macam qira’at al-quran
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Arti Qira’at
Secara etimologi, kata qira’ah berarti ‘bacaan’, dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan. Kata  qira’ah  berbentuk   tunggal,   dalam  studi   ilmu   al-Qur’an, ia ditempatkan dalam bentuk jamak karena pembahasannya mencakup banyak jenis qira’ah (bacaan).
Secara terminologi,  qira’at  adalah salah satu aliran dalam pelafalan/pengucapan al-Qur’an oleh salah seorang imam Qurra’ yang berbeda dengan yang  lainnya dalam hal  ucapan al-Qur’an  serta disepakati   riwayat  dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafadznya. Secara praktis, qira’at   disandarkan   kepada   salah   satu imam Qurra’ yang tujuh, sepuluh dan empat belas.
Qira’at sebagai satu sistem bacaan menjadi sangat vital bagi para pembacanya, terlebih lagi al-Qur’an merupakan sumber pokok rujukan dalam segala hal bagi pemeluk agama Islam. Teks wahyu yang diturunkan dalam bentuk lisan,  diajarkan oleh Nabi  SAW dalam cara yang sama, meski   tetap ada usaha dalam bentuk penulisan teks al-Qur’an tersebut. Tetapi, dalam praktek dominan, metode ajar secara lisan tetap menjadi metode   utama hingga saat ini.Itulah mengapa dalam sejarahnya, al-Qur’an banyak mengalami ragam cara baca, sesuai dengan dialek Arab yang ada saat itu.
Jika  Al-Qur’an merupakan inti ajaran Islam, maka ilmu Qira’at menjadi sebuah  sunnah  yang  harus  dipegang, sebagaimana Nabi  SAW selalu menjaga orisinalitas al-Qur’an dengan cara memanggil para sahabat penghafal al-Qur’anuntuk kemudian mengulang dan mengingat kembali bacaannya.Zaid bin Thabit, orang yang begitu penting dalam pengumpulan Al-Qur'an, menyatakan  bahwa “al-Qira’ah sunnatun muttaba’ah” (Seni  bacaan  (qira'at) Al-Qur'an merupakan sunnah yang mesti dipatuhi dengan sungguh-sungguh).
Dalam satu   riwayat, Nabi SAW  bersabda: “Ambillah (belajarlah) Al-Qur’an dari empat orang: Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz dan Ubay bin Ka’b”
Sepeninggal Nabi SAW, ragam bacaan Al-Qur’an mendapat tempat tersendiri di kalangan sahabat sesuai dengan dialek kabilah yang ada.
B.  Latar Belakang dan Tujuan Qira’at
Cara baca al-Qur’an yang beragam, disebabkan beberapa hal utama :[6]
Ketika pemerintahan Islam meluas dimasa khalifah  Utsman bin  Affan, terjadi beberapa perselisihan di  kalangan  sahabat  tentang car  abaca  al-Qur’an, yang mana masing-masing pihak menyatakan bacaannya adalah yang paling sahih dan benar. Kondisi   ini mengancam keharmonisan umat Islam, hingga khalifah Utsman bin Affan memerintahkan para sahabat  untuk menyusun dan membuat mushaf al-Qur’an. Hal ini dikenal dengan Mushaf Utsmani, yang sampai saat ini mushaf  ini kita temukan, baca dan amalkan.  Perlu  kita ingat bahwa saat itu muncul beberapa mushaf yang berasal dari sahabat, seperti Mushaf Ali bin Abi Thalib,  Mushaf  Ubay  bin  Ka’b,  Mushaf  Abdullah   bin  Mas’ud, Mushaf Ibnu Abbas,  Mushaf   Zaid bin  Tsabit, Mushaf  Abu  Musa al-‘Asy’ari dan mushaf  beberapa sahabat lain yang sangat mungkin tidak kita kenal.
Qira’ah,  disebutkan oleh para   ahli   sejarah,  menjadi   sebuah disiplin  ilmu bermula ketika Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam (w. 224 H) menulis sebuah buku Al-Qira’at, yang termuat di dalamnya qira’at dari 25 orang rawi. Di masa inilah mulai  timbul kebohongan dan usaha-usaha penggantian kata atau kalimat dalam al-Qur’an, sehingga  para  ulama  qurra’  memulai  penyusunan  qira’at   al-Qur’an menuju kepada disiplin ilmu.
Meski sebelumnya telah ada beberapa ulama qira’ah yang terbagi kedalam beberapa kelompok yaitu :
1.   Kelompok sahabat : Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari.
2.    Kelompok Tabi’in :
a.    Madinah     : Ibnu Musayyib, Urwah, Salim, dan Umar bin Abdul Aziz
b.   Mekah         : Ubaid bin Umair, Atho' bin Abi Robah, Thowus, Mujahid, Ikrimah
c.    Kufah         : ilqimah, al-aswad, masruq, ubaidah, dll
d.   Bashroh      : abu aliyah, abu roja', qotadah, ibnu siirin
e.    Syam           : al-mughiroh, shohib utsman, dll
3.   Kelompok Ulama Qurra’ yang hidup pada pertengahan abad dua hijriyah, seperti Ibnu Katsir, Abu Ja’fah, Nafi bin Nua’im, dll.
4.   Kelompok yang meriwayatkan qira’ah dari ulama kelompok ketiga, seperti Ibnu Iyasy, Hafsh dan Khalaf.
5.   Kelompok pengkaji dan penyusun ilmu qira’ah, yaitu Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Ahmad bin Jubair al-Kufi, Ismail bin Ishak al-Maliki, Abu Ja’far bin Jarir at-Tabari, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Dajuni dan Abu Bakar bin Mujahid.
Abu Bakar   bin Mujahid,   terlahir   di  Baghdad  tahun  245 H,  memberikan penjelasan yang cukup rinci tentang ilmu qira’ah, sebagai berikut :
Pertama,  macam-macam   Qira’at   dari   segi   kuantitas   atau   jumlahnya. Adapun sebutan qira`at dari segi jumlah qira’at ada bernacam-macam. Ada yang bernama qira`at tujuh, qira`at delapan, qira`at sepuluh, qira`at sebelas, qira`at tiga belas,  dan qira`at  empat  belas.  Tetapi  dari   sekian macam  jumlah qira`at  yang dibukukan, hanya tiga macam qira’at yang terkenal yaitu:


1.      Qira`at  al-Sab’ah:  ialah qira`at  yang dinisbatkan kepada para  imam qurra’ yang tujuh yang masyhur.
No
 Tempat
 Imam Qurra’
1
Madinah
Nafi' (169/785)
2
Mekah
Ibn Katsir (120/737)
3
Damaskus
Ibn 'Amir (118/736)
4
Basrah
Abu 'Amru (148/770)
5
Kufah
'Asim (127/744)
6
Kufah
 Hamza (156/772)
7
Kufah
Al-Kisa'i (189/804)

2.      Qira`at ‘asyroh: ialah qira`at sab’ah diatas ditambah dengan tiga qira`at lagi.
No
 Tempat
 Imam Qurra’
8
Madinah
 Abu Ja'far (130/747)
9
Basrah
 Ya'qub (205/820)
10
Kufah
 Khalaf al-Asyir (229/843)

3.      Qira`at   arba’ah   asyrah:   ialah   qira`at   ‘asyrah   yang   lalu   ditambah   dengan empat qira’ah lagi.
No
 Tempat
 Imam Qurra’
11
Basrah
Hasan al Basri (110/728)
12
 Mekah
Ibn Muhaisin (123/740)
13
Basrah
Fahya al-Yazidi (202/817)
14
Kufah
al-A’masy (148/765)


Kedua, dari segi kualitas, qira`at berdasarkan kualitas dapat dikelompokkan  dalam lima bagian:
1.      Qira`at Mutawatir, yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari orang   banyak   yang   tidak  mungkin   terjadi   kesepakatan   di   antara  mereka untuk berbohong.
2.      Qira`at  Masyhur,  yakni   qira’at   yang  memilki   sanad   sahih,   tetapi   tidak sampai kepada kualitas mutawatir. Qira`at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan
3.      Qira`at  Ahad,  yakni  yang memiliki  sanad  sahih,   tetapi  menyalahi   tulisan Mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memilki kemasyhuran, dan tidak dibaca.  (Qira’at  Aisyah dan Hafsah,   Ibn Mas’ud,  Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibn Abbas)
4.      Qira’at Syadz (menyimpang), yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih.
5.      Qira’at  Maudhu’(palsu),  yaitu   qira’at   yang   dibuat-buat   dan   disandarkan kepada seorang tanpadasar. Seperti qira’at yang disusun oleh Abu Al-Fadhl Muhammad bin Ja’far dan mensbtkannya kepada Imam Abu Hanifah.
6.      Qira’at Syabih bi al-mudroj, yaitu qira’at yang mirip dengan mudroj dari macam-macam hadis. Dia adalah qira’at yang didalamnya ditambah kalimat sebagai tafsir dari ayat tersebut.
Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama’ dalam menetapkan qira’at yang sahih adalah sebagai berikut :
a.       Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih. Sebab,  qora`at adalah sunnah yang harus diikuti,  diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
b.      Bersesuai  dengan salah satu kaidah penulisan Mushaf ‘Ustmani  walaupun hanya kemungkinan (ihtimal) atau mendekati.
c.       Memiliki sanad yang sahih atau jalan periwayatannya benar,  sebab qira`at merupakan   sunnah yang diikuti yang didasarkan pada penukilan dan kesahihan riwayat.

C.     Faedah Keragaman Qira’at Al-Qur’an
Dalam  keragaman   cara   baca   al-Qur’an,   dapat   diambil   beberapa  manfaat yang berguna sebagai tanda keotentikan al-Qur’an:
1.      Bukti yang jelas tentang keterjagaan Al-Quran dari perubahan dan penyimpangan, meskipun mempunyai banyak qiroat tetapi tetap terpelihara.
2.      Keringanan bagi umat serta kemudahan dalam membacanya, khususnya mempermudah suku-suku yang berbed logat/dialek di Arab.
3.      Membuktikan kemukjizatan Al-Quran,  karena dalam qiroat  yang berbeda ternyata bisa memunculkan istinbat jenis hukum yang berbeda pula.
Contoh   dalam masalah  ini adalah lafadhz : " wa arjulakum" dalam Al-Maidah   ayat   6, yang juga bisa dibaca dalam qiroah lain dengan "wa arjulikum ". Maka yang pertama menunjukkan hukum mencuci kedua kaki dalam wudhu. Sementara yang kedua menunjukkan hukum mengusap ( al-mash) kedua kaki  dalam khuf atau sejenis sepatu.
4.      Qiroat yang satu bisa ikut menjelaskan / menafsirkan qiroat lain yang masih belum jelas maknanya. 
Contoh masalah ini : dalam surat Jumat ayat 9, lafal " Fas'au ", asli katanya berarti  berjalanlah dengan cepat,   tetapi   ini  kemudian diterangkan dengan qiroat lain : " famdhou" yang berarti pergilah , bukan larilah.

D.    Tanda-tanda Baca Al-Qur’an
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakr   ra,  Al-Quran ditulis  dengan memakai   khat   kufi.  Yaitu   sebuah  model   khat   yang   sedang  masyhur   saat   itu. Tulisan pertama Al – Quran masih polos tanpa ada tanda harakat ataupun titik.
Ketika Islam mulai   tersebar ke segenap penjuru Arab,   timbullah beberapa kekeliruan dalam membaca Al – Quran. Hal ini karena beragamnya dialek yang dimiliki  oleh masing-masing qabilah.  Akhirnya pada masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan (40-60 H), Abu Aswad Ad-Duali memprakarsai pemberian tanda-tanda harakat  untuk Al-Quran.  Akan tetapi  tanda – tanda harakat  tersebut  tidaksama dengan harakat  yang kita kenal  saat   ini.  Pada masa  itu harakat  “Fathah” ditandai   dengan   titik   berwarna   merah   yang   diletakkan   di   atas   hurufnya. “Dhammah” ditulis  dengan  titik yang ada di  depan hurufnya,  “Kasrah” ditulis dengan titik yang terletak di bawah dan “Tasydid” dilambangkan dengan titik dua di atas huruf.
Sekitar   tahun 65 – 86 H,  Khalifah Abdul  Malik bin Marwan atas   saran Hajjaj  bin Yusuf  mulai  memberi   tanda   titik  pada  huruf-huruf Al– Quran. Ia menugaskan Yahya bin Ya’mar  dan Nashar  bin Ashim yang merupakan murid Dari Abu Aswad Ad_Duali.
Tanda-tanda   yang   sudah   ada   pun   dirasa  masih   kurang   cukup.  Dimana dengan  tanda –  tanda  tersebut  seringkali  masih diketemukan  terjadi  kekeliruan dalam membaca   al-Quran,   terutama  panjang – pendeknya  bacaan.  Maka  pada tahun 162 H,  Imam Khalil  bin Ahmad yang  tinggal  di  Bashrah memberi   tanda yang   lebih   jelas.   Ia  memperbaharui   tanda-tanda   yang   telah   ditulis  oleh  Abul Aswad Ad_Duali.  Dan hasilnya adalah seperti   tanda-tanda Al-Quran yang kita ketahui saat ini.
Adapun perubahan khat Al Quran terjadi pada masa Al-Wasil ibnu Muqlah (272 H),   seorang menteri  pada Dinasti Abbasiyah. Dialah orang yang dikenal pertama kali   menulis Al-Quran dengan berbagai macam khat, termasuk diantaranya khat Al Quran yang kita pakai sekarang ini.Sedangkan yang membagi Al Quran menjadi 30 juz adalah Hajjaj bin Yusuf. Ia juga memberikan tanda “Nishf” (separuh) dan “Rubu’_”(seperempat)  dalam mushaf Al Quran.



BAB III
PENUTUP

v  Kesimpulan
Dalam lahirnya bermacam-macam bacaan (Qira’at) dalam melafalkan al-Quran lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri dengan melihat gejala beragamnya dialek sebenarnya bersifat alami (natural) artinya tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu rasulullah saw sendiri membenarkan pelafalan al-Quran dengan berbagai macam Qira’at. Disisi lain, perbedaan-perbedaan dialek ( lahjah ) itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan ( qira’ah ) dalam melafalkan al-quran. Lahirnya bermacam-macam qira’ah itu sendiri, dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami (natural), artinya tidak dapat dihindari lagi. Dan abu syamah dalam kitabnya al-quran al-wajiz menolak muatan hadis itu sebagai justifikasi qira’ah sab’ah.







DAFTAR PUSTAKA
1.      Akaha,  Abduh Zulfikar,  Al-Qur’an dan Qira’ah,  Jakarta  :  Pustaka Al-Kautsar, 1996.
2.      Anwar,  Abu,  Drs,  M.Ag,  Ulumul  Qur’an Sebuah Pengantar,  Jakarta  :  Amzah, 2002.
3.      Al A’zami, M. M., Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin dkk, Jakarta : Gema Insani Press, 2005.
4.      Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
5.      14Denffer, Ahmad Von, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an,



Tidak ada komentar:

Posting Komentar